Sejarah Indonesia tak bisa dilepaskan dari babak kelam kolonialisme dan imperialisme yang berlangsung selama berabad-abad. Meskipun sering digunakan bergantian, kedua istilah ini memiliki nuansa berbeda. Kolonialisme merujuk pada upaya suatu negara untuk menguasai dan mendirikan pemukiman di wilayah lain secara fisik, sementara imperialisme lebih luas, yakni kebijakan memperluas pengaruh dan kekuasaan ekonomi atau politik suatu negara atas wilayah lain.
Kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara pada abad ke-16, dimulai oleh Portugis dan kemudian Belanda, didorong oleh ambisi “3G”: Gold (kekayaan rempah-rempah), Glory (kejayaan dan perluasan wilayah), dan Gospel (penyebaran agama). Kekayaan rempah-rempah Indonesia yang melimpah menjadi magnet utama, mendorong persaingan sengit di antara kekuatan-kekuatan Eropa untuk menguasai jalur perdagangan dan sumber daya.
Belanda, melalui Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), menjadi aktor utama dalam kolonialisme di Indonesia. VOC tidak hanya berdagang, tetapi juga memiliki hak istimewa seperti mencetak uang, membentuk angkatan perang, dan bahkan memerintah. Ini adalah bentuk awal imperialisme ekonomi yang kemudian berkembang menjadi penguasaan politik dan teritorial yang lebih mendalam, memonopoli rempah-rempah.
Berakhirnya VOC pada tahun 1799 membawa Indonesia langsung di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda sebagai Hindia Belanda. Periode ini ditandai dengan penerapan kebijakan-kebijakan eksploitatif seperti Tanam Paksa (Cultuurstelsel) dan Kerja Rodi. Kebijakan ini memaksa rakyat pribumi menanam komoditas ekspor dan bekerja tanpa upah layak, menyebabkan penderitaan massal serta kelaparan di banyak wilayah.
Dampak kolonialisme dan imperialisme sangat mendalam. Secara ekonomi, kekayaan alam Indonesia dikuras habis, memiskinkan rakyat. Secara sosial, muncul stratifikasi sosial yang diskriminatif berdasarkan ras, serta terbatasnya akses pendidikan bagi pribumi. Secara politik, sistem pemerintahan tradisional dilemahkan, dan kekuasaan sepenuhnya berada di tangan kolonial.
Meski demikian, penindasan ini juga membangkitkan kesadaran nasional. Berbagai perlawanan lokal yang awalnya bersifat kedaerahan, berkembang menjadi gerakan nasional terorganisir di awal abad ke-20. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara memimpin perjuangan menuju kemerdekaan, menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri, sebuah semangat yang tak terbendung.